Diskusikan

Dwi Kartika Y Bukti Masuknya Islam Lewat Jalur China Ke Nusantara

Dwi Kartika Y Bukti Masuknya Islam Lewat Jalur China Ke Nusantara

by 201910430311196 DWI KARTIKA YULISTANTI -
Number of replies: 0

Jalur yang berbeda dilakukan oleh masyarakat Tionghoa. Mereka datang ke Indonesia sebagai imigran dan memang mencari tempat baru untuk tinggal.

Mereka telah menjadi Muslim di negeri asalnya. Namun, karena pergantian kekuasaan dan kesulitan ekonomi, membuat mereka bermigrasi ke negara-negara lain di dekat Laut Cina selatan. Indonesia menjadi salah satunya.  Sekitar abad ke-15, imigran Cina Muslim yang sebagian besar berasal dari Guangzhou dan Fujian mendarat di nusantara. Mereka tinggal di Indonesia dengan mata pencaharian sebagai pedagang,  bertani, dan sebagai tukang. Muslim Tionghoa di nusantara ada yang berasal dari imigram Muslim asal Cina, lalu menetap di nusantara. Ada pula yang memeluk Islam karena interaksi antaretnis Tionghoa dengan penduduk setempat yang beragama Islam.


Kedatangan imigran Muslim Tionghoa ke nusantara, yakni sebelum dan pada zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara, secara individu. Pada masa inilah para imigran Cina (Tionghoa) Muslim menyebarkan ajaran agama Islam secara tidak langsung. Disebut tidak langsung karena sebenarnya tujuan mereka datang ke nusantara adalah untuk meningkatkan taraf kehidupan ekonomi mereka, bukan tujuan menyampaikan Islam atau berdakwah. Namun, karena Muslim, mereka pun secara tak langsung memengaruhi perilaku penduduk di sekitarnya, mengenalkan Islam dan ibadah dalam kesehariannya. Meski kedatangan etnis Tionghoa Muslim tidak untuk berdakwah, keberadaan mereka mempunyai dampak dalam perkembangan dakwah. Salah satunya karena proses asimilasi, perkawinan dengan penduduk setempat yang kemudian menjadikan mereka Muslim. Beberapa daerah yang menjadi tujuan para imigran Tionghoa Muslim, di antaranya Sambas, Lasem, Palembang, Banten, Jepara, Tuban, Gresik, dan Surabaya. Jejak-jejak mereka berupa peninggalan masjid dan bangunan lainnya masih bisa kita temui. Bukti-bukti orang Tionghoa ikut menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa sebenarnya ada dalam tulisan-tulisan Tionghoa yang disimpan di Klenteng Sam Po Kong selama 400-500 tahun oleh Residen Poortman. Hal ini diungkapkan dalam buku berjudul 'Tionghoa dalam Pusaran Politik' yang ditulis Benny G Setiono dan diterbitkan TransMedia tahun 2008. Pada tahun 1928, dengan alasan menumpas pemberontakan komunis, Residen Poortman menggeledah Klenteng Sam Po Kong dan berhasil merampas 3 gerobak yang berisi berbagai catatan Tionghoa. Dari catatan inilah terlihat bagaimana peranan orang Tionghoa dalam penyebaran agama Islam dan pembentukan sejumlah kerajaan Islam di Jawa.

Klenteng Sam Po Kong atau Klenteng Gedong Batu ini menjadi sumber penelitian bagaimana peranan orang Tionghoa dalam penyebaran agama Islam dan pembentukan sejumlah kesultanan Islam di Jawa. Klenteng Sam Po Kong dibangun di Kota Semarang, Jawa Tengah untuk menghormati Laksamana Cheng Ho. Laksamana Cheng Ho yang pertama membentuk masyarakat Tionghoa Islam di Nusantara. Jejak-jejak peranan orang Tionghoa dalam menyebarkan Islam di Pulau Jawa cukup banyak terlihat. Di antaranya, pembentukan kerajaan Islam Demak dengan rajanya Raden Patah alias Jin Bun yang merupakan cikal bakal dari Kerajaan Mataram. Kemudian ada masjid-masjid Walisongo di jalur Pantura Jawa yang menunjukkan adanya pengaruh kebudayaan Tionghoa di dalamnya. Masjid Agung Demak (Masjid Gelagah Wangi) atau makam Sunan Gunung Jati di Cirebon, Jawa Barat merupakan satu di antara banyak bukti kebudayaan Tionghoa berada. Di tembok-tembok masjid ini, terdapat guci-guci antik yang tak ternilai harganya. Masjid Agung Demak ini juga menggunakan teknologi batu pembuatan jung, kapal niaga Tiongkok dari Dinasti Ming yang terbuat dari kayu. 

Tak cuma Masjid Agung Demak, Kesultanan Cirebon pada tahun 1552 juga didirikan oleh orang Tionghoa bernama Haji Tan Eng Hoat alias Maulana Ifdil Hanafi bersama Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayat Fatahillah atau Faletehan). Tahun 1553, Sunan Gunung Jati menikah dengan putri Haji Tan Eng Hoat bernama Ong Tin yang disebut sebagai Putri China. Upacara perkawinan keduanya pun berlangsung bak raja-raja Tiongkok. Sunan Gunung Jati adalah Toh A Bo (Pangeran Timur), putra Pangeran Trenggana (Tung Ka Lo) anak dari Jin Bun (Raden Patah). Namun hal ini banyak menjadi perdebatan karena selama ini masyarakat masih mengacu pada sejarah yang dituliskan dalam buku Prof Husain Djajadiningrat yang terbit di Belanda tahun 1913. Dalam buku itu tertulis jika Sunan Gunung Jati adalah Faletehan, seorang ulama dari Pasai. Ketika Pasai dikuasai Portugis, Faletehan meninggalkan Pasai dan menetap di Demak.

627 words