Jalur yang berbeda dilakukan oleh masyarakat Tionghoa. Mereka datang ke Indonesia sebagai imigran dan memang mencari tempat baru untuk tinggal.
Mereka telah menjadi Muslim di negeri asalnya. Namun, karena pergantian kekuasaan dan kesulitan ekonomi, membuat mereka bermigrasi ke negara-negara lain di dekat Laut Cina selatan. Indonesia menjadi salah satunya.
Sebenarnya, di Cina sendiri Islam sudah ada sejak lama. Ketua Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Anton Medan mengatakan, Islam sudah datang ke Cina sejak awal Islam berkembang di tanah Arab.
“Sekitar abad ketujuh, Rasulullah telah mengirimkan utusan untuk menyebarkan Islam ke negeri Cina,” ujarnya, pekan lalu.
Rasulullah SAW mengirimkan tiga sahabatnya mendatangi negeri Cina guna menyebarkan ajaran Islam. Dua di antaranya meninggal di perjalanan, sedangkan satu orang lainnya tiba dan berdakwah seperti tujuan awalnya.
Ia kemudian membangun tiga buah masjid, yang salah satunya ada di Guangzhou. Hingga kini, masjid di Guangzhou yang dibangun tahun 627 tersebut masih berdiri tegak lengkap dengan menaranya.
Ini membuktikan, telah lama masyarakat di Cina mengenal Islam. Namun, menurut Anton, perkembangan Islam di sana kurang begitu bagus.
“Karena metode dakwah yang dilakukan sama dengan yang di Arab, yaitu secara normatif. Ini membuat Islam tak banyak menarik perhatian masyarakat Cina,” ujarnya.
Cina yang merupakan negara dengan penduduk terbesar di dunia, hanya menyisakan Muslim sebagai minoritas. Namun, meski hanya sedikit pemeluknya, Islam tetap bertahan dalam berbagai tantangan zaman hingga sekarang.
Islam terus berkembang di negeri ini. Setelah utusan sahabat Rasulullah, hubungan antara para pedagang yang berasal dari Arab membuat dakwah Islam semakin banyak.
Mereka yang berdagang melintasi jalur sutra, yaitu jalur darat dari Cina menuju dunia Barat, membuat masyarakat Cina yang disinggahinya mengenal Islam.
Penyebaran Islam semakin meningkat ketika para pedagang ini juga menggunakan jalur laut melewati selat Malaka sebagai jalur perdagangannya.
Sekitar abad ke-15, imigran Cina Muslim yang sebagian besar berasal dari Guangzhou dan Fujian mendarat di nusantara. Mereka tinggal di Indonesia dengan mata pencaharian sebagai pedagang, bertani, dan sebagai tukang.
Muslim Tionghoa di nusantara ada yang berasal dari imigram Muslim asal Cina, lalu menetap di nusantara. Ada pula yang memeluk Islam karena interaksi antaretnis Tionghoa dengan penduduk setempat yang beragama Islam.
Kedatangan imigran Muslim Tionghoa ke nusantara, yakni sebelum dan pada zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara, secara individu. Pada masa inilah para imigran Cina (Tionghoa) Muslim menyebarkan ajaran agama Islam secara tidak langsung.
Disebut tidak langsung karena sebenarnya tujuan mereka datang ke nusantara adalah untuk meningkatkan taraf kehidupan ekonomi mereka, bukan tujuan menyampaikan Islam atau berdakwah.
Namun, karena Muslim, mereka pun secara tak langsung memengaruhi perilaku penduduk di sekitarnya, mengenalkan Islam dan ibadah dalam kesehariannya.
Meski kedatangan etnis Tionghoa Muslim tidak untuk berdakwah, keberadaan mereka mempunyai dampak dalam perkembangan dakwah.
Salah satunya karena proses asimilasi, perkawinan dengan penduduk setempat yang kemudian menjadikan mereka Muslim.
Beberapa daerah yang menjadi tujuan para imigran Tionghoa Muslim, di antaranya Sambas, Lasem, Palembang, Banten, Jepara, Tuban, Gresik, dan Surabaya. Jejak-jejak mereka berupa peninggalan masjid dan bangunan lainnya masih bisa kita temui.
Imigran Tionghoa Muslim di Indonesia telah ada sebelum bangsa kolonial Portugis dan Belanda datang. Imigran Cina pada abad ke-15 datang dan tinggal di Indonesia untuk mencari penghidupan, bukan untuk menaklukkan daerah maupun mengeksploitasi negeri ini.
Beda niatnya dengan yang dibawa oleh para kolonial. Portugis dan Belanda datang ke Indonesia untuk mencari daerah koloni dan sekaligus menyebarkan ajaran agama Nasrani.
Imigran Cina Muslim hidup membaur dengan penduduk pribumi, sedangkan Belanda dan Portugis memperlakukan penduduk pribumi secara diskriminatif dan di bawah mereka.
Pada masa kolonial Portugis, Tionghoa Muslim juga mendapatkan penindasan seperti penduduk pribumi. Bahkan saat perang kolonial, penduduk Muslim Tionghoa juga bergabung dengan para pejuang di setiap daerah melawan para penjajah.
Kalangan Tionghoa Muslim ini juga menjadi sasaran pembunuhan massal dan korban politik adu domba para kolonial tersebut.
Pada zaman pemerintahan Belanda, mereka pernah mendatangkan etnis Tionghoa ke Indonesia untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di perkebunan dan pertambangan milik Belanda. Sebagian besar yang didatangkan ini juga merupakan Muslim.
Di nusantara, masyarakat Muslim Tionghoa mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari penjajah Belanda karena mereka memiliki kedekatan dengan penduduk pribumi.
Mereka beragama Muslim, seperti sebagian besar agama penduduk pribumi. Penduduk Muslim Tionghoa juga melakukan perlawanan terhadap penjajah dengan bergabung bersama pejuang Indonesia.